
Artikel ini mungkin bisa menjawab keragu-raguan teman-teman dalam membuat karya. Dari pertanyaan “bikin apa ya?” sampai “kalau banyak yang nyinyir sama karya gue gimana?” Masih diangkat dari Podcast Subjective yang dibuat oleh Iqbal Hariadi, Head of Marketing dari kitabisa.com, saya mencoba menginterpretasikan sesuai pemahaman saya.
Seiring dengan meningkatnya animo masyarakat terhadap dunia digital, penggiatnya seolah berlomba-lomba untuk membuat konten dengan berbagai maksud dan tujuan. Banyak yang ingin menginspirasi, tidak sedikit yang tidak ada faedahnya. Tapi yang kita lihat tidak ada faedahnya sekalipun, punya penikmat. Maka tidak heran, banyak pertanyaan “gue mau bikin konten, tapi apa ya?” Mulailah bikin konten dengan apa yang kamu punya, apa yang menjadi keresahan kamu. Dengan demikian, kamu punya kecenderungan untuk menggali dan menggali lebih dalam tentang tema tersebut. Mulai, lalu berproses, mudah-mudahan 3 prinsip berkarya dalam dunia digital ini bisa membantu.
1. First draft is always rubbish. Kalimat ini bisa ditemukan dalam buku Steal Like an Artist karya Austin Kleon. Kalau ada yang bilang “gue mau mulai berkarya, tapi takut jelek”, ngga perlu takut. Pasti jelek. Setiap pekarya selalu memulai dengan karya yang ‘sampah’. Buku pertama yang dibuat Raditya Dika diangkat dari blognya yang menceritakan kehidupan SMA nya di tahun 2002. Isinya? Tentang kegiatan sehari-hari dia yang biasanya lucu dan bodoh. Adakah yang bisa dijadikan pelajaran? Mungkin. Buku pertama yang dibuat Pandji Pragiwaksono juga diangkat dari blog dia yang ditulis tahun 2014. Isinya? Statement “Today I am a Fart Machine. It has been loud and rally”. Kalau salah satu keraguan kita dalam memulai karya adalah tentang impresi, bisa kita bayangkan apa yang dipikirkan Pandji Pragiwaksono tentang impresi pembacanya ketika membaca postingan pertamanya?
2. Bukan yang terbaik tapi lebih baik. Kalau kita punya mindset untuk bikin konten yang sempurna dan terbaik, maka kita akan berhenti setelah itu. Maka mindsetnya adalah untuk membuat karya yang lebih baik dari karya sebelumnya, karena kunci dari berkarya adalah bertumbuh. Dengan mindset bertumbuh ini, kita jadi terpacu untuk membuat karya yang lebih baik dan lebih baik lagi mengalahkan karya kita sebelumnya. Dari 1 orang pembaca, jadi 2 orang. Dari 5 orang penonton, jadi 10 orang. Dari buku pertamanya, Raditya Dika kemudian membuat berbagai buku, script, bahkan film dengan jutaan penonton. Dari postingan blog pertamanya, Pandji Pragiwaksono telah membuat beberapa buku dan lagu. Bahkan sejak tahun 2014 hingga sekarang, Pandji telah sukses membuat 3 kali tur dunia untuk ber-stand up comedy. Tiket dari penutup tur-nya di Jakarta bahkan terjual habis. Jika tidak bertumbuh dari karya-karya sebelumnya, mungkin hal tersebut tidak akan terjadi.
3. Satu orang aja. Menurut Wahyu Aditya, animator Indonesia dalam bukunya Sila Ke-6: Kreatif Sampai Mati! semua karya di dunia pasti ada penikmatnya. Baik atau tidaknya, bagus atau tidaknya sebuah karya adalah relatif. Maka tugas kita adalah menemukan penikmat dari karya kita. Jangan fokus untuk mengkhawatirkan orang-orang yang memandang sebelah mata terhadap karya kita, fokuslah mencari orang yang mengapresiasi karya kita. Nah, dari sekian banyak penikmat karya kita, temukan satu orang aja yang berterima kasih atas karya kita. Hal itu yang akan menjadi ‘bensin’ untuk kita membuat karya selanjutnya yang lebih baik lagi.
Satu akun instagram yang saya rasa menebar nilai positif kepada ribuan anak muda di Indonesia, @nkcthi. Tidak sulit menemukan orang-orang yang mengapresiasi tulisan dalam akun tersebut. Bagus, keren, inspiratif, itu kata-kata pujian. Tapi terima kasih, bukan pujian biasa menurut saya. Terima kasih adalah bentuk apresiasi paling dalam terutama kepada pekarya. Saya sendiri menemukan ‘bensin’ untuk menebar kebaikan dalam bertutur, setelah menemukan comment dari seorang teman, “Nah. Postingan yang gini ini nih. I truly am grateful to have known you. Love you bujeng!”
So, siap berkarya?